Jumat, 31 Mei 2013

Subak, Kebersamaan Dalam Ketahanan Pangan









SUBAK, KEBERSAMAAN DALAM KETAHANAN PANGAN
Oleh : I Ketut Catur Widhi Antara

            Masyarakat Bali sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, pada dasarnya merupakan masyarakat agraris.  Komoditas utama pertanian di Bali pada awalnya adalah padi.  Hal itu menimbulkan kebutuhan bersama masyarakat akan air untuk mengairi areal persawahannya. Air menjadi kebutuhan yang sangat vital dalam mendukung ketersediaan pangan masyarakat Bali. 
            Kehidupan sosial masyarakat Bali sangat tinggi.  Pemanfaatan air untuk mengairi lahan sawah tidak boleh dimonopoli oleh perorangan.  Semua masyarakat harus memperoleh air yang cukup untuk mengairi sawahnya.  Masyarakat Bali memerlukan sebuah sistem pemanfaatan air yang adil.  Sebagai jawabannya lahirlah sistem “subak”.      
            Kata subak secara etimologis berasal dari kata sasuwakan yang berarti sealiran.  Adanya persamaan bunyi p, b, dan w mengakibatkan kata sasuwakan lama-kelamaan berubah menjadi sasubakan, dan akhirnya dipersingkat menjadi subak.  Jadi subak merupakan sekumpulan masyarakat tani di Bali yang memanfaatkan suatu aliran air dari suatu sumber air yang sama untuk usahatani padi sawah secara tradisional.
            Menurut Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 02/PD/DPRD/1972 subak merupakan masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang penguasaan air dan lain-lain untuk perawatan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah (Sukariyanto, 2012).
            Sejarah keberadaan subak di Bali menurut Sukariyanto, 2012 dimuat dalam beberapa prasasti antara lain:
1. Prasasti Sukawana
     Parasasti Sukawana berangka tahun 882 M. Menurut prasasti ini pada waktu itu telah ada istilah ’huma' yang berarti sawah dan 'perlak' yang berarti tegalan (ladang). Jadi pada tahun 882 M di Bali sudah ada sistem pertanian sawah dan tegalan (ladang).
2.  Prasasti Bebetin
     Prasasti Bebetin berangka tahun 896 M. Pada prasasti itu tertulis bahwa pada waktu itu telah ada Undagi Lancang (tukang pembuat perahu), Undagi Batu (tukang mencari batu), Undagi Pengarung (tukang pembuat terowongan air. Ukuran pembagian air untuk perwawahan pada masa itu disebut 'kilan' atau 'tektekan yeh'.
3.  Prasasti Trunyan
     Prasasti ini berangka tahun 891 M. Kata 'Ser Danu' dipergunakan pada masa itu sebagai sebutan untuk kepala urusan air danau (danau Batur). Kata 'Ser' ini diperkirakan merupakan asal kata 'Pekaseh' yaitu pimpinan subak yang mengatur pemanfaatan dan pembagian air irigasi untuk persawahan dalam suatu wilayah subak.
4. Prasasti Pandak Bandung
     Prasasti yang berangka tahun 1071 M ini bertuliskan kata 'kasuwakan'  yang saat ini menjadi kata 'kasubakan' atau 'subak'.
5.  Prasasti Klungkung
     Prasasti Klungkung berangka tahun 1072 M, disebutkan pada waktu itu ada 'kasuwakan Rawas' yang berarti 'kasubakan Rawas'.
            Terbentuknya subak di Bali secara legendaris disebutkan dalam lontar Markandeya Purana. Rsi Markandeya datang dari Gunung Raung bersama 800 orang pengikut. Mereka membuat persawahan di sebuah desa yang bernama Desa Sarwada yang sekarang bernama Desa Taro di Tegalalang, Gianyar. Sawahnya disebut 'puwakan'  (Sukariyanto, 2012). 
            Pengikat utama anggota subak adalah air irigasi (canal based). Anggota-anggota suatu subak bisa saja berasal dari desa yang berbeda-beda. Faktor penentu keanggotaan subak adalah pemanfaatan aliran air/irigasi yang sama.
            Subak seperti halnya semua kegiatan sosial di Bali dilandaskan pada ajaran Tri Hita Karana. Inti ajarannya adalah senantiasa menjaga keseimbangan hidup. Pawongan, mengupayakan keseimbangan hubungan antar manusia dengan melakukan pelayanan kepada sesama; Palemahan, menjaga keseimbangan hubungan dengan alam lingkungan sehingga terwujud kelestarian lingkungan; Parahyangan, segala kegiatan dilakukan dalam rangka pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa.  
            Menurut Septyarini, 2012 perwujudan konsep Tri Hita Karana dalam operasional sistem irigasi subak antara lain :
a. Subsistem budaya dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang dilandasi dengan keharmonisan dan kebersamaan.
     Contoh: menyelenggarakan upacara mendak toya, membuat bangunan suci/pura (Bedugul)
b.  Subsistem sosial dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang disesuaikan dengan kepentingan petani dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Potensi konflik dalam subak diantisipasi sehingga tercipta keharmonisan.
     Contoh: pembuatan awig-awig (peraturan) melalui rapat krama subak sehingga harus dipatuhi oleh semua anggota dan pengurus subak.
c.  Subsistem artefak/kebendaan dicerminkan dengan ketersediaan sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan subak, pendistribusian air secara adil, dan proses peminjaman air, sehingga konflik-konflik dapat dicegah
     Contoh: pembagian air menggunakan sistem tektek, sistem suplesi dan drainase yang terpisah dalam satu kompleks sawah (one inlet and one outlet system). Kekurangan suplai air pada lahan petani diantisipasi dengan pemberian tambahan air.
           
Subak sebagai Organisasi
            Subak sebagai kumpulan masyarakat tani merupakan suatu organisasi. Sebuah organisasi tentu saja mempunyai struktur organisasi. Susunan organisasi subak secara garis besar terdiri atas unsur prajuru (pimpinan/pengurus) dan krama (anggota).
            Unsur  prajuru (pimpinan/pengurus) biasanya terdiri atas :
1. Pekaseh (Ketua)
2. Petajuh (Wakil Ketua)
3. Penyarikan (Sekretaris)
4. Patengen (Bendahara)
5. Saya (Pembantu Khusus)
6. Juru Arah (Petugas Pembawa Berita)
            Prajuru subak selain saya dan juru arah dipilih oleh krama subak melalui rapat khusus. Masa jabatan prajuru subak biasanya 5 tahun. Saya dan juru arah dijabat oleh krama subak secara bergantian dengan masa jabatan 210 hari (6 bulan kalender Bali).
            Krama subak berdasarkan status keanggotaannya dibedakan dalam tiga kelompok yaitu:
1. Krama pengayah (anggota aktif), disebut juga krama pekaseh atau sekaa yeh; yaitu anggota subak yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan subak. Kegiatan-kegiatan subak berupa bergotong royong memelihara dan memperbaiki fasilitas subak, upacara keagamaan subak, dan rapat subak. Aktif dalam kegiatan-kegiatan subak disebut dengan ngayah.
2.  Krama pengampel/pengoot  (anggota pasif) yaitu  anggota subak yang tidak bisa mengikuti kegiatan-kegiatan subak secara aktif (ngayah) karena tidak memungkinkan untuk ngayah. Anggota pasif biasanya adalah pemilik sawah yang bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil atau bekerja di kota/luar daerah. Ngayah dikompensasikan dengan sejumlah beras atau uang sesuai dengan kesepakatan.
3.  Krama leluputan (anggota khusus) yaitu anggota subak yang dibebaskan dari kewajiban-kewajiban subak. Krama leluputan memegang jabatan tertentu dalam masyarakat sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk melayani masyarakat. Jabatan tersebut antara lain pemangku (pemimpin upacara agama di suatu pura), bendesa adat (pemimpin desa adat), perbekel (kepala desa), dan sulinggih (pendeta, pedanda, Sri Mpu, dan lain-lain).
            Seluruh krama subak terikat oleh aturan subak yang disebut awig-awig. Tugas-tugas prajuru subak, hak dan kewajiban krama subak serta sanksi-sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran diuraikan dalam awig-awig tersebut. Sanksi biasanya berupa denda sejumlah uang atau beras. Sanksi yang paling berat biasanya adalah untuk pelanggaran mencuri air. Krama subak yang ketahuan mencuri air sehingga krama subak lain tidak kebagian air akan dikenakan denda. Besarnya tergantung kesepakatan. Contohnya pada Subak Sunting Samsaman, Desa Angkah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan, Bali ditentukan dendanya sebesar Rp. 100.000,-. "Besaran dendanya akan ditinjau kembali dalam rapat subak, dan disesuaikan dengan nilai ekonomi saat ini!", ujar I Ketut Suparma, Pekaseh Subak Sunting Samsaman.
            Fungsi organisasi subak secara garis besar antara lain:
1. Mengatur pembagian air secara adil kepada seluruh krama subak dengan sistem tembuku
2. Memelihara fasilitas fisik subak
3. Mengatur tata guna tanah dengan sistem terasering
4. Mengatur pola tanam
5.  Menggalang persatuan krama subak
            Pitana, 1997 dalam Sukariyanto, 2012 menyatakan fungsi dan tugas subak terdiri atas fungsi dan tugas internal dan eksternal. Fungsi dan tugas internal merupakan fungsi dan tugas utama yang harus dilakukan subak, antara lain:
1.  Pencarian dan distribusi air irigasi
2.  Operasi dan pemeliharaan fasilitas irigasi
3.  Mobilisasi sumberdaya
4.  Penanganan persengketaan
5.  Kegiatan upacara/ritual.
Fungsi dan tugas eksternal subak adalah sebagai lembaga agen pembangunan pertanian dan pedesaan. Keberadan subak telah terbukti memegang peranan penting dalam melaksanakan program-program pembangunan pertanian seperti Bimas, Insus, Supra Insus, pengembangan KUD, dan sebagainya.
Fasilitas Fisik Irigasi Subak
            Fasilitas fisik irigasi subak mirip dengan fasilitas fisik sistem irigasi lainnya. Bagian-bagiannya secara umum adalah sebagai berikut:
1. Empelan (bendungan) yaitu bangunan yang berfungsi untuk mengumpulkan air dari suatu sumber air
2.  Aungan (terowongan), apabila saluran air harus menembus bukit/perbukitan
3. Telabah (saluran primer)
4.  Tembuku aya yaitu bendungan pada saluran primer yang membagi menjadi saluran-saluran sekunder
5.  Telabah gede (saluran sekunder)
6.  Tembuku gede yaitu bendungan pada saluran sekunder yang membaginya menjadi saluran-saluran tersier
7.  Telabah pemaron (saluran tersier)
8. Tembuku pemaron yaitu bendungan pada saluran tersier yang membaginya menjadi saluran-saluran kuarter
9.  Telabah penyahcah (saluran kuarter)
10.Tembuku penyahcah yaitu bendungan yang membagi saluran kuarter menjadi penasan-penasan, masing-masing untuk 10 krama subak
11.Tembuku pengalapan yaitu bendungan pemasukan air individual
12.Tali kunda yaitu saluran air individual
            Selain fasilitas fisik di atas, untuk kondisi tertentu subak juga mempunyai beberapa bangunan pelengkap berupa penguras (flushing), pekiuh (over flow), petaku (bangunan air terjun), abangan (talang),  dan jengkawung (gorong-gorong). Air yang telah dipergunakan untuk mengairi persawahan biasanya disalurkan melalui saluran khusus kembali ke saluran irigasi. Jadi air buangan tersebut dapat dimanfaatkan oleh krama subak di daerah hilir.
Upacara-upacara Keagamaan dalam Subak
            Seluruh kegiatan sosial di Bali selalu disertai dengan ritual. Hal ini disebabkan  konsep Tri Hita Karana yang mendasari kehidupan masyarakat Bali, yakni pawongan, palemahan, dan parahyangan seperti telah dijelaskan di atas. Segala sesuatunya dilakukan sebagai pengabdian kepada Ida Sang Hyang Widhi WaƧa (Tuhan Yang Maha Esa). Hasil yang diperoleh dari suatu kegiatan selalu dipersembahkan kepada-Nya. Setiap upacara mengandung makna simbolik berupa harapan-harapan yang ingin dicapai krama subak.
            Menurut Museum Subak Tabanan, upacara keagamaan yang dilakukan oleh krama subak secara garis besar terdiri atas dua bagian. Ada upacara yang dilakukan secara perseorangan dan ada upacara yang dilakukan oleh kelompok.
Upacara-upacara yang dilakukan secara perseorangan berupa upacara untuk mengawali setiap tahapan kegiatan budidaya padi. Upacara-upacara tersebut antara lan:
1.    Ngendagin yaitu upacara saat mulai melakukan pencangkulan pertama
2.    Ngawiwit dilakukan pada waktu petani ngurit (melakukan pembibitan)
3.    Nandur dilaksanakan pada saat mulai menanam padi
4.    Neduh dilakukan pada saat padi berumur satu bulan dengan harapan padi tidak diserang oleh hama dan penyakit
5.    Biyukukung dilakukan pada saat padi bunting
6.    Nyangket dilakukan pada saat menjelang panen
7.    Mantenin dilakukan pada saat padi disimpan di tempat penyimpanan (pada umumnya lumbung padi) sebelum diolah menjadi beras untuk pertama kalinya.
Upacara-upacara yang dilakukan secara kelompok antara lain:
1.    Mapag toya dilakukan di dekat bendungan menjelang pengolahan tanah
2.    Nyaeb/mecaru dilakukan agar padi tidak diserang hama dan penyakit
3.    Ngusaba dilakukan menjelang panen
Selain upacara di atas ada beberapa upacara yang dilakukan oleh para petani antara lain :
1.    Nyepi yakni tidak melakukan kegiatan di sawah selama 1 hari. Tujuannya adalah untuk membersihkan buana agung (makrokosmos) dan buana alit (mikrokosmos) dan menjaga keseimbangannya
2.    Nangluk merana berkaitan dengan usaha untuk menolak/menetralisir hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi. Upacara ini berkaitan dengan pura yang berhubungan dengan penguasa hama.
            Upacara-upacara subak mungkin berbeda di tiap-tiap wilayah. Perbedaannya pada istilah yang digunakan dan kuantitasnya. Makna simbolis yang dikandung tetap sama. Septyarini, 2012 menguraikan bahwa kegiatan ritual yang dilakukan oleh subak terdiri atas dua tingkatan yaitu:
A. Tingkat individual: upacara yang dilakukan oleh perseorangan mengikuti siklus hidup (life cycle) padi. Tahapan-tahapannya adalah:
     1.  Ngendagin : air mulai masuk ke sawah
     2.  Ngurit : menabur benih/pembibitan
     3.  Newasen: mulai menamam padi
     4.  Neduh: pada saat padi berumur 1 bulan  Bali (35 hari)
     5.  Biukukung: pada sat padi bunting
     6.  Banten manyi: pada saat mulai panen
     7.  Mantenin: pada saat padi mulai disimpan di lumbung.
B. Tingkat tempek, subak, subak gede (gabungan beberapa subak)
     1.  Mendak toya: mencari air pertama sebelum musim tanam padi
     2.  Mebalik sumpah: mengupacarai padi ketika berumur dua minggu yang         mengandung harapan agar tanaman padi dihindarkan dari hama dan             penyakit
     3.  Merebu: dilakukan menjelang panen
     4.  Ngusaba: dilakukan sehabis panen sebagai ucapan syukur atas hasil            panen yang diperoleh
     5.  Nangluk merana: dilakukan ketika padi terserang hama dan penyakit yang   membahayakan
     6.  Pakelem: dilakukan sewaktu-waktu dan dapat dilakukan bergabung bersama subak lain
     7.  Odalan: dilakukan sebagai peringatan hari berdirinya bangunan suci/pura     yang disungsung krama subak (Pura Bedugul, Ulunsuwi)
            Sedangkan menurut I Ketut Suparma, Pekaseh Subak Sunting Samsaman upacara-upacara yang dilakukan oleh krama subak yang dipimpinnya antara lain:
1.  Mendak toya/muatang yeh suatu ritual yang dilaksanakan di buka (lokasi sumber air). Upacara ini dilaksanakan pada awal periode pola tanam. Tujuannya adalah untuk mendoakan keberhasilan pola tanam yang akan dilaksanakan.
2.  Neduh I dilaksanakan pada saat padi berumur 1 bulan 7 hari (42 hari menurut sistem kalender Bali). Tujuannya untuk menetralisir hama dan penyakit tanaman padi.
3.  Neduh II / nangluk merana dilaksanakan pada saat padi berumur 84 hari. Tujuannya untuk mengusir hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi.
4.  Neduh III / ngusaba dilaksanakan di Pura Bedugul setelah panen. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas keberhasilan panen yang dicapai.
            Suparma juga menjelaskan tentang  berbagai pura yang disungsung oleh krama subak. Di Pura Ulunsuwi disthanakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Bhatara Gunung Agung (Dewa Wisnu/Dewa Kehidupan) dan Bhatari Beratan (Dewi Danuh/Dewi Sri/Dewi Kesuburan). Di Pura Bedugul disthanakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Uma atau Sedahan Penyarikan (pengemban persawahan). Hal itu tidak berarti masyarakat Bali memuja banyak Tuhan (polytheisme), tetapi memuja Tuhan dalam manifestasi yang berbeda-beda sesuai dengan aspek kekuatan-Nya.
Keunikan Subak
            Sistem irigasi tradisional sebenarnya tidak hanya terdapat di Bali melainkan di berbagai belahan dunia. Subak menjadi sebuah sistem irigasi tradisional yang unik karena berkaitan erat dengan agama Hindu dan budaya setempat. Nilai yang sangat penting dalam subak adalah kebersamaan dan gotong-royong para anggotanya dalam memelihara aset subak. Kebersamaan tersebut sudah jelas berarti kebersamaan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini mendasari UNESCO mengakui subak sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia pada tanggal 24 September 2012.

Eksistensi Subak di Masa Depan
            Winata, 2002 menyatakan bahwa lahan pertanian di Bali mengalami penyusutan yang sangat tajam. Penurunan luas lahan pertanian dalam kurun waktu tahun1985 sampai dengan 1989 rata-rata 1.000 hektar lebih per tahun. Tahun 1994 mencapai 4.000 hektar per tahun. Lahan pertanian yang beralih fungsi pada tahun 2000 diperkirakan 5.000 hektar per tahun. Luas lahan pertanian di Bali sekitar 17 % dari luas Pulau Bali (97.377 hektar). Penyusutan lahan pertanian sebesar 5.000 hektar per tahun sangat mengkhawatirkan jika terus dibiarkan. Lahan pertanian di Bali bisa-bisa habis dalam waktu yang relatif singkat.
            Kepakisan dalam Winata, 2002 menyatakan salah satu yang berperan dalam alih fungsi lahan pertanian adalah kebijakan tata ruang pemerintah. Pemberian izin untuk membangun real estate di atas lahan pertanian dan ditetapkannya land consolidation menjadikan saluran air terpotong-potong. Winata memberikan contoh yang nyata untuk pernyataan Kepakisan di atas. Kawasan Renon, Denpasar yang dulu terkenal sebagai penghasil beras saat ini sudah berubah menjadi kawasan perumahan dan pertokoan.
            Lebih jauh Winata menyatakan pembukaan jalan baru juga memiliki kemampuan dalam penyusutan lahan pertanian. Pembangunan jalan baru akan mengakibatkan lahan sawah di sekitarnya beralih fungsi dengan cepat. Contohnya di kawasan Jalan Gatot Subroto Denpasar Barat. Daerah tersebut merupakan hamparan sawah yang luas dan cukup subur sebelum dibukanya jalan. Namun saat ini yang terlihat adalah hamparan perumahan dari beton dan lahan kering yang menunggu waktu untuk dibanguni perumahan atau tempat usaha. 
            Pernyataan Winata dan Kepakisan memang pantas diperhatikan. Menurut Suparma di wilayah Subak Sunting Samsaman pun telah terjadi penyusutan lahan sawah yang cukup tajam. Luas lahan subak di wilayah Subak Sunting Samsaman pada awalnya 42 hektar, saat ini hanya tersisa 14 hektar. Lahan sawah sebagian besar beralih fungsi menjadi lahan perkebunan dengan komoditi yang dianggap memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi daripada padi. Sebagian kecil beralih fungsi menjadi perumahan.
            Penyusutan lahan pertanian sangat jelas mengancam eksistensi subak. Subak ada karena adanya sawah. Punahnya lahan sawah berarti punahnya subak. Jika penyusutan lahan pertanian ini tidak segera diantisipasi, maka tidak mustahil generasi mendatang hanya mewarisi prototipe subak yang dipajang di museum.
            Eksistensi subak sangat tergantung dari kebijakan pemerintah dalam bidang tata ruang. Kebijakan dalam bidang pajak juga berperan penting. Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) memicu dan merangsang petani untuk menjual tanahnya.  
            Keberadaan subak sangat perlu dilestarikan. Alasan-alasannya menurut Bagus, 2013 antara lain:
1.  Subak mengandung kearifan lokal yang dapat mendorong keberlanjutan ketersediaan sumberdaya air.
2.  Subak mempunyai peran dan fungsi yang berkaitan langsung dengan manajemen air irigasi maupun peran-peran lain di luar manajemen irigasi (agama dan budaya).
3.  Subak sebagai penyangga nilai-nilai tradisional. Adanya kegiatan ritual subak sangat penting dalam mendukung stabilitas sosial.
4.  Subak sebagai pendukung kelestarian lingkungan. Lahan sawah secara kolektif berfungsi sebagai dam besar yang dapat mengendalikan banjir dan erosi, serta mengisi air tanah (ground water recharge).  Tanaman padi dapat menyerap zat-zat beracun dari udara dan mengendalikan siklus nitrogen.
5.  Subak sebagai daya tarik wisatawan. Trend pariwisata global berkembang ke arah ekoturisme dan pariwisata budaya. Subak mengandung kedua hal tersebut sehingga sangat potensial sebagai daya  tarik wisatawan.
6.  Subak sebagai pendukung ketahanan pangan. 
            Eksistensi subak dapat dipertahankan jika eksistensi lahan pertanian dapat dipertahankan. Hal ini memerlukan dukungan dari semua pihak, yakni pemerintah, penyuluh, dan masyarakat /petani itu sendiri.
            Kebijakan pemerintah hendaknya mendukung minat masyarakat untuk bertani padi. Pemerintah harus dapat mengondisikan kehidupan yang lebih sejahtera bagi petani padi.
            Penyuluh juga harus dapat memainkan perannya sebagai motivator, fasilitator, dan mediator bagi petani padi dalam rangka peningkatan produktivitas dan kreativitas petani serta peningkatan nilai tambah produk pertanian. Penyuluh mesti mampu merangsang tumbuhnya mental agribisnis para petani.
            Masyarakat sendiri mesti berperan aktif dalam menjaga kelestarian subak. Masyarakat hendaknya selalu berinovasi untuk meningkatkan produktivitasnya baik dari segi kuantitas maupun kualitas produk pertaniannya. Minat generasi penerus terhadap sektor pertanian otomatis akan tumbuh jika sektor pertanian mampu memberikan kehidupan yang layak.
            Eksistensi subak mendukung ketahanan pangan masyarakat. Subak merupakan salah satu wujud kebersamaan masyarakat Bali.  Kebersamaan dalam ketahanan pangan.

Sumber :
Wawancara dengan I Ketut Suparma (Pekaseh Subak Sunting Samsaman) pada             tanggal 21 Mei 2013.
Sukariyanto, I  Gede Made. 4 April 2012. Subak. http://dpw-fortius.blogspot.com.             diakses tanggal 27 Mei 2013.
Septyarini, Daning Eka. 27 Juni 2012. Sistem Irigasi Subak Di Bali.         http://blog.ub.ac.id. diakses tanggal 28 Mei 2013.
Witana. 27 Maret 2002. Sawah Menyempit, Subak Terjepit.         htpp://www.network54.com. diakses tanggal 28 Mei 2013.
Bagus, Ngah. 4 Maret 2013. Makalah Subak. Htpp://congkodok.blogspot.com.      diakses tanggal 28 Mei 2013