SUBAK,
KEBERSAMAAN DALAM KETAHANAN PANGAN
Oleh
: I Ketut Catur Widhi Antara
Masyarakat Bali sebagaimana masyarakat
Indonesia pada umumnya, pada dasarnya merupakan masyarakat agraris. Komoditas utama pertanian di Bali pada
awalnya adalah padi. Hal itu menimbulkan
kebutuhan bersama masyarakat akan air untuk mengairi areal persawahannya. Air menjadi
kebutuhan yang sangat vital dalam mendukung ketersediaan pangan masyarakat
Bali.
Kehidupan sosial masyarakat Bali
sangat tinggi. Pemanfaatan air untuk
mengairi lahan sawah tidak boleh dimonopoli oleh perorangan. Semua masyarakat harus memperoleh air yang
cukup untuk mengairi sawahnya.
Masyarakat Bali memerlukan sebuah sistem pemanfaatan air yang adil. Sebagai jawabannya lahirlah sistem “subak”.
Kata subak secara etimologis berasal dari kata sasuwakan yang berarti sealiran.
Adanya persamaan bunyi p, b, dan w mengakibatkan kata sasuwakan
lama-kelamaan berubah menjadi sasubakan,
dan akhirnya dipersingkat menjadi subak. Jadi subak
merupakan sekumpulan masyarakat tani di Bali yang memanfaatkan suatu aliran
air dari suatu sumber air yang sama untuk usahatani padi sawah secara
tradisional.
Menurut Peraturan Daerah Propinsi
Bali Nomor 02/PD/DPRD/1972 subak merupakan masyarakat hukum adat di Bali yang
bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dulu kala
dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang penguasaan
air dan lain-lain untuk perawatan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah
(Sukariyanto, 2012).
Sejarah keberadaan subak di Bali menurut Sukariyanto, 2012 dimuat
dalam beberapa prasasti antara lain:
1. Prasasti Sukawana
Parasasti Sukawana berangka tahun 882 M. Menurut prasasti ini
pada waktu itu telah ada istilah ’huma'
yang berarti sawah dan 'perlak' yang
berarti tegalan (ladang). Jadi pada tahun 882 M di Bali sudah ada sistem
pertanian sawah dan tegalan (ladang).
2. Prasasti Bebetin
Prasasti Bebetin berangka tahun 896 M. Pada prasasti itu
tertulis bahwa pada waktu itu telah ada Undagi
Lancang (tukang pembuat perahu), Undagi
Batu (tukang mencari batu), Undagi
Pengarung (tukang pembuat terowongan air. Ukuran pembagian air untuk
perwawahan pada masa itu disebut 'kilan'
atau 'tektekan yeh'.
3. Prasasti Trunyan
Prasasti ini berangka tahun 891 M. Kata 'Ser Danu' dipergunakan pada masa itu sebagai sebutan untuk kepala
urusan air danau (danau Batur). Kata 'Ser'
ini diperkirakan merupakan asal kata 'Pekaseh'
yaitu pimpinan subak yang mengatur pemanfaatan dan pembagian air irigasi untuk
persawahan dalam suatu wilayah subak.
4. Prasasti Pandak Bandung
Prasasti yang berangka tahun 1071 M ini bertuliskan kata 'kasuwakan' yang saat ini menjadi kata 'kasubakan' atau 'subak'.
5. Prasasti Klungkung
Prasasti Klungkung berangka tahun 1072 M, disebutkan pada waktu
itu ada 'kasuwakan Rawas' yang
berarti 'kasubakan Rawas'.
Terbentuknya subak di Bali secara legendaris disebutkan dalam lontar Markandeya Purana. Rsi Markandeya datang
dari Gunung Raung bersama 800 orang pengikut. Mereka membuat persawahan di
sebuah desa yang bernama Desa Sarwada yang sekarang bernama Desa Taro di
Tegalalang, Gianyar. Sawahnya disebut 'puwakan' (Sukariyanto, 2012).
Pengikat utama anggota subak adalah air irigasi (canal based). Anggota-anggota suatu subak bisa saja berasal dari desa yang
berbeda-beda. Faktor penentu keanggotaan subak
adalah pemanfaatan aliran air/irigasi yang sama.
Subak
seperti halnya semua kegiatan sosial di Bali dilandaskan pada ajaran Tri Hita Karana. Inti ajarannya adalah
senantiasa menjaga keseimbangan hidup. Pawongan,
mengupayakan keseimbangan hubungan antar manusia dengan melakukan pelayanan
kepada sesama; Palemahan, menjaga
keseimbangan hubungan dengan alam lingkungan sehingga terwujud kelestarian
lingkungan; Parahyangan, segala
kegiatan dilakukan dalam rangka pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Septyarini, 2012 perwujudan
konsep Tri Hita Karana dalam
operasional sistem irigasi subak antara lain :
a. Subsistem budaya
dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang dilandasi dengan
keharmonisan dan kebersamaan.
Contoh: menyelenggarakan upacara mendak toya, membuat bangunan suci/pura (Bedugul)
b. Subsistem sosial dicerminkan dengan adanya
organisasi subak yang disesuaikan dengan kepentingan petani dalam pencapaian
tujuan yang diinginkan. Potensi konflik dalam subak diantisipasi sehingga
tercipta keharmonisan.
Contoh: pembuatan awig-awig
(peraturan) melalui rapat krama subak
sehingga harus dipatuhi oleh semua anggota dan pengurus subak.
c. Subsistem artefak/kebendaan dicerminkan dengan
ketersediaan sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan subak,
pendistribusian air secara adil, dan proses peminjaman air, sehingga
konflik-konflik dapat dicegah
Contoh: pembagian air menggunakan sistem tektek, sistem suplesi dan drainase yang terpisah dalam satu
kompleks sawah (one inlet and one outlet
system). Kekurangan suplai air pada lahan petani diantisipasi dengan
pemberian tambahan air.
Subak
sebagai Organisasi
Subak sebagai kumpulan masyarakat tani
merupakan suatu organisasi. Sebuah organisasi tentu saja mempunyai struktur
organisasi. Susunan organisasi subak secara garis besar terdiri atas unsur prajuru (pimpinan/pengurus) dan krama (anggota).
Unsur prajuru
(pimpinan/pengurus) biasanya terdiri atas :
1.
Pekaseh (Ketua)
2.
Petajuh (Wakil Ketua)
3.
Penyarikan (Sekretaris)
4.
Patengen (Bendahara)
5.
Saya (Pembantu Khusus)
6.
Juru Arah (Petugas Pembawa Berita)
Prajuru
subak selain saya dan juru arah dipilih oleh krama subak melalui rapat khusus. Masa
jabatan prajuru subak biasanya 5
tahun. Saya dan juru arah dijabat oleh krama
subak secara bergantian dengan masa jabatan 210 hari (6 bulan kalender
Bali).
Krama
subak berdasarkan status keanggotaannya dibedakan dalam tiga kelompok
yaitu:
1. Krama pengayah
(anggota aktif), disebut juga krama
pekaseh atau sekaa yeh; yaitu anggota
subak yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan subak. Kegiatan-kegiatan subak
berupa bergotong royong memelihara dan memperbaiki fasilitas subak, upacara
keagamaan subak, dan rapat subak. Aktif dalam kegiatan-kegiatan subak disebut
dengan ngayah.
2. Krama
pengampel/pengoot (anggota pasif)
yaitu
anggota subak yang tidak bisa mengikuti kegiatan-kegiatan subak
secara aktif (ngayah) karena tidak
memungkinkan untuk ngayah. Anggota
pasif biasanya adalah pemilik sawah yang bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil
atau bekerja di kota/luar daerah. Ngayah dikompensasikan
dengan sejumlah beras atau uang sesuai dengan kesepakatan.
3. Krama
leluputan (anggota khusus) yaitu anggota subak yang dibebaskan dari
kewajiban-kewajiban subak. Krama
leluputan memegang jabatan tertentu dalam masyarakat sehingga sebagian
besar waktunya digunakan untuk melayani masyarakat. Jabatan tersebut antara
lain pemangku (pemimpin upacara agama
di suatu pura), bendesa adat (pemimpin
desa adat), perbekel (kepala desa),
dan sulinggih (pendeta, pedanda, Sri Mpu, dan lain-lain).
Seluruh krama subak terikat oleh aturan subak yang disebut awig-awig. Tugas-tugas prajuru subak, hak dan kewajiban krama subak serta sanksi-sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran diuraikan dalam awig-awig
tersebut. Sanksi biasanya berupa denda sejumlah uang atau beras. Sanksi
yang paling berat biasanya adalah untuk pelanggaran mencuri air. Krama subak yang ketahuan mencuri air
sehingga krama subak lain tidak
kebagian air akan dikenakan denda. Besarnya tergantung kesepakatan. Contohnya
pada Subak Sunting Samsaman, Desa Angkah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten
Tabanan, Bali ditentukan dendanya sebesar Rp. 100.000,-. "Besaran dendanya
akan ditinjau kembali dalam rapat subak, dan disesuaikan dengan nilai ekonomi
saat ini!", ujar I Ketut Suparma, Pekaseh
Subak Sunting Samsaman.
Fungsi organisasi subak secara garis
besar antara lain:
1. Mengatur pembagian air secara adil
kepada seluruh krama subak dengan
sistem tembuku
2. Memelihara fasilitas fisik subak
3. Mengatur tata guna tanah dengan sistem
terasering
4. Mengatur pola tanam
5. Menggalang persatuan krama subak
Pitana, 1997 dalam Sukariyanto, 2012
menyatakan fungsi dan tugas subak
terdiri atas fungsi dan tugas internal dan eksternal. Fungsi dan tugas internal
merupakan fungsi dan tugas utama yang harus dilakukan subak, antara lain:
1. Pencarian dan distribusi air irigasi
2. Operasi dan pemeliharaan fasilitas irigasi
3. Mobilisasi sumberdaya
4. Penanganan persengketaan
5. Kegiatan upacara/ritual.
Fungsi dan
tugas eksternal subak adalah sebagai
lembaga agen pembangunan pertanian dan pedesaan. Keberadan subak telah terbukti
memegang peranan penting dalam melaksanakan program-program pembangunan
pertanian seperti Bimas, Insus, Supra Insus, pengembangan KUD, dan sebagainya.
Fasilitas Fisik Irigasi
Subak
Fasilitas fisik irigasi subak mirip
dengan fasilitas fisik sistem irigasi lainnya. Bagian-bagiannya secara umum
adalah sebagai berikut:
1. Empelan
(bendungan) yaitu bangunan yang berfungsi untuk mengumpulkan air dari suatu
sumber air
2. Aungan (terowongan),
apabila saluran air harus menembus bukit/perbukitan
3. Telabah (saluran primer)
4. Tembuku
aya yaitu bendungan pada saluran primer yang membagi menjadi
saluran-saluran sekunder
5. Telabah
gede (saluran sekunder)
6. Tembuku
gede yaitu bendungan pada saluran sekunder yang membaginya menjadi
saluran-saluran tersier
7. Telabah
pemaron (saluran tersier)
8. Tembuku
pemaron yaitu bendungan pada saluran tersier yang membaginya menjadi
saluran-saluran kuarter
9. Telabah
penyahcah (saluran kuarter)
10.Tembuku penyahcah yaitu bendungan yang membagi saluran kuarter
menjadi penasan-penasan,
masing-masing untuk 10 krama subak
11.Tembuku pengalapan yaitu bendungan pemasukan air individual
12.Tali kunda yaitu saluran air individual
Selain fasilitas fisik di atas,
untuk kondisi tertentu subak juga
mempunyai beberapa bangunan pelengkap berupa penguras (flushing), pekiuh (over flow), petaku (bangunan air terjun), abangan
(talang), dan jengkawung (gorong-gorong). Air yang telah dipergunakan untuk mengairi
persawahan biasanya disalurkan melalui saluran khusus kembali ke saluran
irigasi. Jadi air buangan tersebut dapat dimanfaatkan oleh krama subak di daerah hilir.
Upacara-upacara
Keagamaan dalam Subak
Seluruh kegiatan sosial di Bali selalu
disertai dengan ritual. Hal ini disebabkan
konsep Tri Hita Karana yang
mendasari kehidupan masyarakat Bali, yakni pawongan,
palemahan, dan parahyangan
seperti telah dijelaskan di atas. Segala sesuatunya dilakukan sebagai pengabdian
kepada Ida Sang Hyang Widhi WaƧa (Tuhan Yang Maha Esa). Hasil yang diperoleh
dari suatu kegiatan selalu dipersembahkan
kepada-Nya. Setiap upacara mengandung makna simbolik berupa harapan-harapan
yang ingin dicapai krama subak.
Menurut Museum Subak Tabanan, upacara
keagamaan yang dilakukan oleh krama subak
secara garis besar terdiri atas dua bagian. Ada upacara yang dilakukan
secara perseorangan dan ada upacara yang dilakukan oleh kelompok.
Upacara-upacara
yang dilakukan secara perseorangan berupa upacara untuk mengawali setiap
tahapan kegiatan budidaya padi. Upacara-upacara tersebut antara lan:
1. Ngendagin
yaitu upacara saat mulai melakukan pencangkulan pertama
2. Ngawiwit
dilakukan pada waktu petani ngurit (melakukan
pembibitan)
3. Nandur
dilaksanakan pada saat mulai menanam padi
4. Neduh dilakukan pada saat padi berumur satu bulan
dengan harapan padi tidak diserang oleh hama dan penyakit
5. Biyukukung
dilakukan pada saat padi bunting
6. Nyangket
dilakukan pada saat menjelang panen
7. Mantenin
dilakukan pada saat padi disimpan di tempat penyimpanan (pada umumnya
lumbung padi) sebelum diolah menjadi beras untuk pertama kalinya.
Upacara-upacara yang
dilakukan secara kelompok antara lain:
1. Mapag
toya dilakukan di dekat bendungan menjelang pengolahan tanah
2. Nyaeb/mecaru
dilakukan agar padi tidak diserang hama dan penyakit
3. Ngusaba
dilakukan menjelang panen
Selain
upacara di atas ada beberapa upacara yang dilakukan oleh para petani antara
lain :
1. Nyepi yakni
tidak melakukan kegiatan di sawah selama 1 hari. Tujuannya adalah untuk
membersihkan buana agung (makrokosmos)
dan buana alit (mikrokosmos) dan
menjaga keseimbangannya
2. Nangluk
merana berkaitan dengan usaha untuk menolak/menetralisir hama dan penyakit
yang menyerang tanaman padi. Upacara ini berkaitan dengan pura yang berhubungan
dengan penguasa hama.
Upacara-upacara subak mungkin
berbeda di tiap-tiap wilayah. Perbedaannya pada istilah yang digunakan dan
kuantitasnya. Makna simbolis yang dikandung tetap sama. Septyarini, 2012
menguraikan bahwa kegiatan ritual yang dilakukan oleh subak terdiri atas dua
tingkatan yaitu:
A. Tingkat individual:
upacara yang dilakukan oleh perseorangan mengikuti siklus hidup (life cycle) padi. Tahapan-tahapannya
adalah:
1. Ngendagin : air mulai masuk ke sawah
2. Ngurit : menabur benih/pembibitan
3. Newasen: mulai menamam padi
4. Neduh: pada saat padi berumur 1
bulan Bali (35 hari)
5. Biukukung: pada sat padi bunting
6. Banten manyi: pada saat mulai panen
7. Mantenin: pada saat padi mulai disimpan
di lumbung.
B. Tingkat tempek, subak, subak gede (gabungan
beberapa subak)
1. Mendak toya: mencari air pertama sebelum
musim tanam padi
2. Mebalik sumpah: mengupacarai padi ketika
berumur dua minggu yang mengandung
harapan agar tanaman padi dihindarkan dari hama dan penyakit
3. Merebu: dilakukan menjelang panen
4. Ngusaba: dilakukan sehabis panen sebagai
ucapan syukur atas hasil panen
yang diperoleh
5. Nangluk merana: dilakukan ketika padi
terserang hama dan penyakit yang membahayakan
6. Pakelem: dilakukan sewaktu-waktu dan
dapat dilakukan bergabung bersama subak
lain
7. Odalan: dilakukan sebagai peringatan
hari berdirinya bangunan suci/pura yang
disungsung krama subak (Pura Bedugul,
Ulunsuwi)
Sedangkan
menurut I Ketut Suparma, Pekaseh Subak
Sunting Samsaman upacara-upacara yang dilakukan oleh krama subak yang dipimpinnya antara lain:
1. Mendak
toya/muatang yeh suatu ritual yang dilaksanakan di buka (lokasi sumber air). Upacara ini dilaksanakan pada awal
periode pola tanam. Tujuannya adalah untuk mendoakan keberhasilan pola tanam
yang akan dilaksanakan.
2. Neduh I dilaksanakan
pada saat padi berumur 1 bulan 7 hari (42 hari menurut sistem kalender Bali). Tujuannya
untuk menetralisir hama dan penyakit tanaman padi.
3. Neduh II
/ nangluk merana dilaksanakan pada saat padi berumur 84 hari. Tujuannya
untuk mengusir hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi.
4. Neduh
III / ngusaba dilaksanakan di Pura Bedugul setelah panen. Tujuannya adalah
untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas
keberhasilan panen yang dicapai.
Suparma juga menjelaskan
tentang berbagai pura yang disungsung oleh krama
subak. Di Pura Ulunsuwi disthanakan
Tuhan dalam manifestasinya sebagai Bhatara Gunung Agung (Dewa Wisnu/Dewa
Kehidupan) dan Bhatari Beratan (Dewi Danuh/Dewi Sri/Dewi Kesuburan). Di Pura
Bedugul disthanakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Uma atau Sedahan
Penyarikan (pengemban persawahan). Hal itu tidak berarti masyarakat Bali memuja
banyak Tuhan (polytheisme), tetapi memuja Tuhan dalam manifestasi yang
berbeda-beda sesuai dengan aspek kekuatan-Nya.
Keunikan
Subak
Sistem irigasi tradisional
sebenarnya tidak hanya terdapat di Bali melainkan di berbagai belahan dunia. Subak menjadi sebuah sistem irigasi
tradisional yang unik karena berkaitan erat dengan agama Hindu dan budaya
setempat. Nilai yang sangat penting dalam subak
adalah kebersamaan dan gotong-royong para anggotanya dalam memelihara aset subak. Kebersamaan tersebut sudah jelas
berarti kebersamaan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini mendasari UNESCO
mengakui subak sebagai salah satu
Warisan Budaya Dunia pada tanggal 24 September 2012.
Eksistensi
Subak di Masa Depan
Winata, 2002 menyatakan bahwa lahan
pertanian di Bali mengalami penyusutan yang sangat tajam. Penurunan luas lahan
pertanian dalam kurun waktu tahun1985 sampai dengan 1989 rata-rata 1.000 hektar
lebih per tahun. Tahun 1994 mencapai 4.000 hektar per tahun. Lahan pertanian
yang beralih fungsi pada tahun 2000 diperkirakan 5.000 hektar per tahun. Luas
lahan pertanian di Bali sekitar 17 % dari luas Pulau Bali (97.377 hektar).
Penyusutan lahan pertanian sebesar 5.000 hektar per tahun sangat
mengkhawatirkan jika terus dibiarkan. Lahan pertanian di Bali bisa-bisa habis
dalam waktu yang relatif singkat.
Kepakisan dalam Winata, 2002
menyatakan salah satu yang berperan dalam alih fungsi lahan pertanian adalah
kebijakan tata ruang pemerintah. Pemberian izin untuk membangun real estate di atas lahan pertanian dan
ditetapkannya land consolidation menjadikan
saluran air terpotong-potong. Winata memberikan contoh yang nyata untuk
pernyataan Kepakisan di atas. Kawasan Renon, Denpasar yang dulu terkenal
sebagai penghasil beras saat ini sudah berubah menjadi kawasan perumahan dan
pertokoan.
Lebih jauh Winata menyatakan
pembukaan jalan baru juga memiliki kemampuan dalam penyusutan lahan pertanian.
Pembangunan jalan baru akan mengakibatkan lahan sawah di sekitarnya beralih
fungsi dengan cepat. Contohnya di kawasan Jalan Gatot Subroto Denpasar Barat.
Daerah tersebut merupakan hamparan sawah yang luas dan cukup subur sebelum
dibukanya jalan. Namun saat ini yang terlihat adalah hamparan perumahan dari
beton dan lahan kering yang menunggu waktu untuk dibanguni perumahan atau
tempat usaha.
Pernyataan Winata dan Kepakisan memang
pantas diperhatikan. Menurut Suparma di wilayah Subak Sunting Samsaman pun
telah terjadi penyusutan lahan sawah yang cukup tajam. Luas lahan subak di
wilayah Subak Sunting Samsaman pada awalnya 42 hektar, saat ini hanya tersisa
14 hektar. Lahan sawah sebagian besar beralih fungsi menjadi lahan perkebunan
dengan komoditi yang dianggap memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi
daripada padi. Sebagian kecil beralih fungsi menjadi perumahan.
Penyusutan lahan pertanian sangat
jelas mengancam eksistensi subak. Subak ada karena adanya sawah. Punahnya
lahan sawah berarti punahnya subak.
Jika penyusutan lahan pertanian ini tidak segera diantisipasi, maka tidak
mustahil generasi mendatang hanya mewarisi prototipe subak yang dipajang di museum.
Eksistensi subak sangat tergantung dari kebijakan pemerintah dalam bidang tata
ruang. Kebijakan dalam bidang pajak juga berperan penting. Penetapan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) yang didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) memicu
dan merangsang petani untuk menjual tanahnya.
Keberadaan subak sangat perlu dilestarikan. Alasan-alasannya menurut Bagus,
2013 antara lain:
1. Subak mengandung kearifan lokal yang dapat
mendorong keberlanjutan ketersediaan sumberdaya air.
2. Subak mempunyai peran dan fungsi yang
berkaitan langsung dengan manajemen air irigasi maupun peran-peran lain di luar
manajemen irigasi (agama dan budaya).
3. Subak sebagai penyangga nilai-nilai
tradisional. Adanya kegiatan ritual subak sangat penting dalam mendukung
stabilitas sosial.
4. Subak sebagai pendukung kelestarian
lingkungan. Lahan sawah secara kolektif berfungsi sebagai dam besar yang dapat
mengendalikan banjir dan erosi, serta mengisi air tanah (ground water recharge).
Tanaman padi dapat menyerap zat-zat beracun dari udara dan mengendalikan
siklus nitrogen.
5. Subak sebagai daya tarik wisatawan. Trend
pariwisata global berkembang ke arah ekoturisme dan pariwisata budaya. Subak
mengandung kedua hal tersebut sehingga sangat potensial sebagai daya tarik wisatawan.
6. Subak sebagai pendukung ketahanan pangan.
Eksistensi subak dapat dipertahankan jika eksistensi lahan pertanian dapat
dipertahankan. Hal ini memerlukan dukungan dari semua pihak, yakni pemerintah,
penyuluh, dan masyarakat /petani itu sendiri.
Kebijakan pemerintah hendaknya
mendukung minat masyarakat untuk bertani padi. Pemerintah harus dapat
mengondisikan kehidupan yang lebih sejahtera bagi petani padi.
Penyuluh juga harus dapat memainkan
perannya sebagai motivator, fasilitator, dan mediator bagi petani padi dalam
rangka peningkatan produktivitas dan kreativitas petani serta peningkatan nilai
tambah produk pertanian. Penyuluh mesti mampu merangsang tumbuhnya mental
agribisnis para petani.
Masyarakat sendiri mesti berperan
aktif dalam menjaga kelestarian subak. Masyarakat hendaknya selalu berinovasi
untuk meningkatkan produktivitasnya baik dari segi kuantitas maupun kualitas
produk pertaniannya. Minat generasi penerus terhadap sektor pertanian otomatis
akan tumbuh jika sektor pertanian mampu memberikan kehidupan yang layak.
Eksistensi subak mendukung ketahanan pangan masyarakat. Subak merupakan salah satu wujud kebersamaan masyarakat Bali. Kebersamaan dalam ketahanan pangan.
Sumber :
Wawancara
dengan I Ketut Suparma (Pekaseh Subak Sunting Samsaman) pada tanggal 21 Mei 2013.
Sukariyanto,
I Gede Made. 4 April 2012. Subak.
http://dpw-fortius.blogspot.com. diakses
tanggal 27 Mei 2013.
Septyarini,
Daning Eka. 27 Juni 2012. Sistem Irigasi Subak Di Bali. http://blog.ub.ac.id. diakses tanggal 28
Mei 2013.
Witana.
27 Maret 2002. Sawah Menyempit, Subak Terjepit. htpp://www.network54.com. diakses tanggal 28 Mei 2013.
Bagus,
Ngah. 4 Maret 2013. Makalah Subak. Htpp://congkodok.blogspot.com.
diakses tanggal 28 Mei 2013